Di Yogyakarta dan Solo, nasi kucing sangat terkenal. Para mahasiswa berduit cekak, nasi kucing biasanya menjadi pilihan utama.
Harganya murah, variasi lauknya cukup banyak, sambalnya macam-macam, pokoknya bikin selera dan pastinya kenyang. Belum lagi minumannya, ada jahe, teh jahe, kopi, teh panas, es teh, atau jeruk manis.
Popularitas nasi kucing ternyata merambah kota-kota besar lain di Indonesia, seperti di Ibu Kota Jakarta. Di sejumlah sudut kota metropolitan ini, kita bisa menemukan angkringan yang menyajikan nasi kucing.
Kalau di Jakarta, nasi kucing bukan lagi sebagai alternatif bagi kalangan berduit cekak. Datang ke angkringan sudah seperti gaya hidup.
Di sana kita bisa nongkrong di atas tikar. Bertemu teman-teman lama atau berkenalan dengan teman baru. Bahkan, banyak pula anak-anak komunitas yang memanfaatkan lesehan nasi kucing.
Anak-anak yang lahir di Jakarta yang orang tuanya berasal dari Jawa Tengah, umumnya suka datang ke lesehan. Sepertinya, mereka ingin merasakan atmosfer budaya Jawa di lesehan. Dengerin orang bicara bahasa Jawa, merasakan sikap sopan pedagang nasi kucing, dan lain sebagainya.
Ngomong-ngomong tentang nasi kucing, ternyata banyak juga orang yang belum tahu, terutama remaja-remaja yang memang lahir di kota besar.
Nasi kucing itu bahasa Jawa-nya segå kucing. Jadi, sebenarnya makanan yang tersaji di sana bukanlah makanan spesial atau makanan dari planet tertentu di luar Bumi. Kekhasannya adalah cara menyajikannya. Nasinya dibungkus kertas dengan ukuran kecil-kecil. Lalu di dalam bungkusan itu dilengkapi dengan sambal teri, atau tomat, atau orek.
Di gerobak angkringan, kita disajikan banyak sekali lauk, mulai dari babat, bandeng, usus, kepala atau cakar ayam, telur puyuh, dan bakwan.
Jadi, ada baiknya teman-teman coba datang ke angkringan untuk merasakannya secara langsung.